SURABAYA– Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) menyelenggarakan Pelatihan Kader Pendamping Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Masa Pandemi Covid-19 di Kabupaten Bangkalan pada Rabu dan Kamis (3-4/8/2022). Pelatihan kader difokuskan pada pendampingan ODGJ serta penanganan yang harus dilakukan.
Andini Dyah Sitawati dr SpKJ membawakan materi pertama dengan topik Schizophrenia. Menurutnya, Schizophrenia merupakan gangguan jiwa berat, biasanya kronis yang ditandai dengan sulit membedakan antara realita dan khayalan.
“Ada kalanya penderita bisa mendengar dan melihat sesuatu, padahal orang sekitarnya tidak bisa, ” tuturnya.
Karena hal-hal tersebut, penderita akan sulit berinteraksi dengan orang lain. Dampak lebih lanjut, penderita akan mengalami gangguan fungsi dalam berpikir dan berkonsentrasi.
Penyebab dan Gejala
Psikiater di RSUD DR Soetomo itu menerangkan bahwa Schizophrenia bisa diderita oleh siapapun. Biasanya rentang usia 15-35 tahun paling rentan terkena Schizophrenia.
“Berdasarkan data, jenis kelamin laki-laki lebih banyak terkena Schizophrenia dari pada perempuan, ” lanjutnya.
Sita menerangkan bahwa penyebab Schizophrenia sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Namun kalau dirangkum, ada lima faktor penyebab. Yaitu faktor genetik, ketidakseimbangan jumlah neurotransmitter di otak, kondisi psikologis, dan faktor lingkungan sosial.
Baca juga:
Vaksin Booster Itu Penting, Apa Alasannya?
|
Andini Dyah Sitawati dr SpKJ saat menyampaikan materi pada Pelatihan Kader Pendamping ODGJ di Masa Pandemi. (Foto : Sandi Prabowo).
“Pasien schizophrenia memiliki manajemen stres yang jelek, sehingga menyebabkan gangguan di otak yang akhirnya dapat menimbulkan berbagai gejala, ” terangnya.
Gejala yang biasanya timbul, lanjut dr Sita, adalah halusinasi, melihat penampakan yang tidak bisa dilihat orang di sekitar, serta memiliki pemahaman dan keyakinan akan hal tertentu meskipun sudah terbukti salah. Dukungan keluarga dan orang terdekat sangat dibutuhkan oleh pasien schizophrenia. Tanpa itu, pasien akan sulit untuk bertahan.
“Jika ada orang di sekitar kita atau keluarga, jangan dicemooh, jangan dikucilkan. Berilah semangat agar segera berobat sehingga bisa lebih baik, ” jelasnya.
Penanganan Pasien
Sementara itu, Izzatul Fithriyah dr SpKJ (K) menjelaskan lebih lanjut mengenai intervensi atau penanganan untuk pasien Schizophrenia. Terapi obat saja tidak cukup untuk menangani pasien schizophrenia. Diperlukan terapi lain untuk membantu recovery dan penyesuaian diri bagi pasien.
“Recovery bukan berarti bebas dari gejala. Tetapi juga diharapkan pasien dapat melanjutkan tujuan hidupnya kembali, ” terangnya.
Intervensi non farmakologis sendiri dibagi menjadi tiga strategi. Yaitu yang bersifat edukasi, pelatihan keterampilan khusus, dan berfokus pada masalah atau gejala.
“SST atau Social Skill Training menjadi alternatif terapi perilaku yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial pada orang dengan gangguan mental, ” terangnya.
Selain SST, intervensi keluarga juga dibutuhkan untuk mengintegrasikan anggota keluarga pasien ke dalam perawatan dan rehabilitasi selama fase akut serta stabil skizofrenia. Intervensi dukungan sebaya (peer support) juga dapat dilakukan untuk memberikan dukungan sosial dan emosional terhadap pasien. (*)
Penulis : Sandi Prabowo
Editor : Binti Q Masruroh